Epidemi, Privacy Pasien, dan Penyebaran Informasi

Adi Sudewa
3 min readMar 6, 2020

--

Tahun 2003, saat wabah SARS sedang menjadi isu hangat, saya baru pulang ke Jakarta dari proyek implementasi sistem IT di sebuah bank di Bangkok. Setelah beberapa hari di Jakarta, saya menderita demam tinggi yang terjadi setiap sore, lalu kondisinya membaik pada pagi dan siang hari. Setelah beberapa hari seperti itu, saya cek darah di sebuah RS di Jakarta. Seperti yang saya duga, trombosit darah turun drastis; ini gejala dari demam berdarah.

Sepulang dari rumah sakit, saya langsung bersiap terbang ke Bali. Saya pikir, lebih baik dirawat di RS di Bali jadi ada orang tua yang menemani (saya masih single saat itu). Setelah malamnya menginap di rumah, paginya saya cek darah lagi. Oleh pihak lab, saya disarankan untuk langsung dirawat di RS. Saya tidak ingat persis kronologinya karena kondisi badan lemas, tapi pihak RS Sanglah memasukkan saya sebagai pasien suspect SARS. Mungkin karena riwayat perjalanan saya dari Bangkok seminggu sebelumnya.

Sejak sore itu juga, saya dirawat di RS dengan perlakuan pasien suspect SARS. Orang tua tidak boleh masuk ke ruang perawatan yang disiapkan khusus untuk saya. Ruangan ini tidak istimewa, bahkan terkesan seperti sebuah ruang yang lama tidak digunakan. Saya ingat tidak ada bel untuk memanggil perawat seperti di ruang RS umumnya, yang ada adalah sebuah lonceng (!) yang harus digoyang-goyangkan dengan kencang supaya bisa terdengar sampai ruang perawat. Ruangan ini digunakan karena lokasinya yang jauh dari mana-mana, kecuali kamar mayat. Setiap perawat yang masuk ruangan harus menggunakan pakaian proteksi yang komplet dengan masker yang melindungi seluruh muka. Setiap hari perawat juga membawa alat X-ray portable untuk memastikan paru-paru saya bersih dan tidak ada gejala SARS.

Saat itu saya sangat yakin kalau saya sakit demam berdarah, bukan SARS. Tidak ada batuk-batuk atau sesak napas. Karena SARS belum ada obatnya, saya pun ditangani dengan infus dan obat-obat untuk DB pada umumnya. Waktu itu belum ada internet mobile jadi saya tidak bisa mengakses informasi apa-apa. Saya cuma pegang HP untuk telepon dan SMS. Saat itu saya malah takut mati akibat radiasi karena setiap hari terpapar X-ray.

Setelah dua hari saya dirawat di RS, mulailah para wartawan berdatangan. Saya perkirakan ada 10–15 wartawan yang mencoba menerobos hingga jendela ruangan, berusaha mengambil foto saya. Bukannya mengusir wartawan, salah satu perawat pria malah membuka tirai jendela, seperti memastikan bahwa wartawan bisa mengambil foto saya.

Benar saja, esok paginya foto-foto saya menghiasi halaman depan media-media cetak lokal, lengkap dengan mencantumkan nama, tempat kerja, dan riwayat perjalanan. Saya tidak ingat apakah ada liputan dari media televisi atau media cetak nasional.

Orang tua saya pun bingung, dari mana wartawan tahu data-data personal seperti itu? Bagaimana mereka bisa mengambil foto bagian dalam ruang isolasi? Ibu saya pun menelepon kantor media lokal terbesar di Bali dan “menyemprot” wartawannya habis-habisan (Don’t mess up with emak-emak, ya! BTW, wartawan ini pada tahun 2009 tewas dibunuh karena meliput kasus yang melibatkan politisi lokal. RIP).

Beberapa hari kemudian, setelah level trombosit kembali ke normal dan dokter yakin saya sudah pulih dari DB, saya diperbolehkan pulang. Tidak ada wartawan yang meliput, semua kehebohan itu sudah selesai. Tidak ada lagi berita-berita mengenai SARS di media. Tidak ada permintaan maaf dari media, baik kepada pasien yang privacy-nya dilanggar, maupun kepada publik karena membesar-besarkan sebuah kasus. Tidak ada ulasan mengenai apakah tindakan RS sudah tepat atau belum, dan bagaimana mengantisipasi jika wabah benar-benar menyebar. Media hanya mencari sensasi belaka dengan mendobrak aturan dan pakem etika tanpa ada niat mengedukasi publik.
Di awal 2020 ini, di tengah ancaman epidemi baru, apakah media di Indonesia (dan kita sebagai publik yang juga sekarang menjadi broadcaster di media sosial) sudah dapat menggali dan menyebarkan informasi dengan cara yang lebih baik? Kalau saya amati berita-berita yang beredar sekarang, media online cenderung membuat judul dengan click bait untuk mengejar click sebanyak-banyaknya. Publik yang kepo dan cenderung FOMO malah mempermudah penyebaran berita yang tidak jelas ini dan mempermudah untuk menghakimi suspect covid tanpa tahu fakta-faktanya.

Bagi saya, kejadian ini harusnya menjadi momen pembelajaran bagi semua pihak tentang menyebarkan informasi secara bijak, baik pihak berwenang, pasien dan keluarga pasien, maupun masyarakat umum.

--

--

Adi Sudewa

Venture Builder. In Medium to share perspectives on how industries are being transformed by digital technologies.